Banyaknya safari politik yang dilakukan oleh para elit politik dapat menjadi pedang bermata dua bagi kita sebagai bangsa dan negara, utamanya dalam aspek pembangunan dan politik.
Agenda pengumpulan para ketua partai politik (parpol) peserta Pemilu 2024 di Istana Negara bak menjadi langkah simalakama. Pada satu sisi, berkumpulnya para ketua partai politik tersebut menjadi sinyal positif bahwa siapapun yang nantinya menang di dalam Pemilihan Umum (pemilu), maka proses pembangunan yang sudah dijalankan akan tetap dilanjutkan. Sehingga, pemilu tidak hanya dimaknai sebagai kontestasi politik, namun juga uji komitmen keberlanjutan pembangunan. Pada prinsip ini, para ketua partai diminta untuk memisahkan urusan politik dengan pembangunan.
Namun, pada sisi yang lain, grouping elit politik tersebut adalah sinyalemen negatif mengingat mayoritas ketua parpol tersebut masih mengemban amanah sebagai pejabat publik. Tentunya hal ini dapat menyebabkan adanya conflict of interest mengingat konstituen antara peran sebagai elit politik dan pejabat publik berbeda. Elit politik merepresentasikan konstituen partai yang tentu segmented, sementara posisi stakeholders semestinya bebas kepentingan kelompok dan menjadi representasi dari rakyat tanpa pandang bulu.
Adanya batas tipis antara politisi dan pejabat publik nampaknya harus diperhatikan betul oleh pemerintah. Pemerintah harus sadar bahwa porsi keduanya berbeda. Pejabat publik berbicara mengenai administrasi publik. Dalam skala ini, pejabat publik memisahkan diri dari urusan politik dan berfokus kepada hal-hal manajerial-pembangunan. Sementara itu, politisi berbicara mengenai kepentingan dan pemenangan kursi tertentu. Sehingga, jika didudukkan pada posisi yang sama, maka seharusnya seseorang meletakkan kepentingan publik ketika berperan sebagai politisi.
Pemisahan peran yang jelas ini perlu dipikirkan apalagi sudah ada beberapa contoh yang memperlihatkan konflik kepentingan diantara dua peran. Sebagai contoh, periode kedua Barack Obama yang pada saat itu menjadi pemain penting di dalam Partai Demokrat justru diwarnai upaya-upaya endorsement politik kepada Joe Biden. Masalah pelik yang terjadi seperti asuransi kesehatan maupun kredit perumahan rakyat justru luput dari perhatian. Alhasil, problem tersebut tidak selesai bahkan sampai tongkat kepemimpinan berganti.
Pelajaran dari Obama semestinya menjadi refleksi bagi Indonesia terlebih Indonesia memiliki dua misi, yaitu bagaimana keberlanjutan pembangunan dapat dilakukan tanpa melakukan perusakan pada pendewasaan demokrasi. Hal-hal ini sekiranya harus dipikirkan secara matang karena memiliki dua kutub yang berbeda, yakni kutub administrasi publik dan sumbu politik.
Idealnya, proses administrasi publik dilakukan secara masif pasca proses politik yang menentukan posisi-posisi kepemimpinan telah selesai. Dalam koridor ini, administrasi publik menekankan pada kepentingan subyek pembangunan. Artinya, administrasi publik menanti siapa yang akan melanjutkan proses pembangunan. Meskipun dalam beberapa hal ditekankan bahwa obyek pembangunan tetap berjalan terlepas dari siapapun yang menjadi subyek pembangunan. Pada tahap ini, komitmen-komitmen pembangunan bangsa secara jangka panjang tetap dilakukan di tengah proses politik walaupun pelaksanaan proses tersebut barangkali melambat atau berada dalam status quo.
Salah satu komitmen bangsa yang tidak lekang waktu adalah pemindahan ibukota negara. Melalui UU Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (IKN), pemerintah berkomitmen untuk menjadikan IKN sebagai satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus dan mampu mengatur maupun mengurus sendiri urusan pemerintahannya (Pasal 5 Ayat 2). Adanya kunci komitmen tersebut membuat proses administrasi publik ke depan tidak perlu diragukan. Hanya saja, subyek yang melakukannya bisa berbeda seperti akomodasi ruang bagi pemberdayaan masyarakat di IKN bisa berubah tergantung kepemimpinan ke depan.
Aspek kepemimpinan inilah yang menjadi ranah politik. Pemilu adalah mekanisme tunggal peralihan kepemimpinan. Dengan pemilu, rakyat memiliki hak suara untuk memilih pemimpinnya. Sehingga, pemilihannya pun tidak bisa dikontrol oleh negara atau administrasi publik. Mindset seperti ini yang pada akhirnya membuat elit politik berkumpul dengan kabinet pemerintahan terkini. Keduanya berbicara tentang komitmen pembangunan dan administrasi publik, bukan politik.
Dengan cara pikir seperti itu seharusnya pemerintah mampu melepaskan cengkeraman politik melalui pengangkatan Pelaksana Tugas (Plt). Pengangkatan Plt di dalam pemerintahan bukan barang baru. Melalui regulasi, hal ini diakomodasi melalui UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda) dan UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Meskipun tidak memiliki wewenang sebesar pemimpin asli, paling tidak Plt dapat menjalankan roda kepemimpinan tanpa intervensi politik.
Kebutuhan pemimpin dengan semangat pembangunan juga dapat dilakukan pada tingkat pemerintah pusat. Dengan mekanisme reshuffle, pemerintah dapat tidak hanya melakukan akselerasi atau menjaga suhu pembangunan, namun juga agar peran ganda seorang menteri tidak terjadi. Menengok apa yang terjadi belakangan, nampaknya hal itu penting dilakukan pemerintah agar replikasi peristiwa Obama tidak terjadi di Indonesia.
Jika pengangkatan Plt dan reshuffle dapat diletakkan pada kepentingan bangsa, yakni bukan tujuan menyingkirkan seseorang namun mencari orang yang berkomitmen kepada proses administrasi publik maupun pembangunan, maka tujuan ganda untuk melanggengkan proses pembangunan dan pendewasaan demokrasi dapat dilakukan. Hal ini bisa menjadi win-win solution. Pada satu sisi, proses pembangunan dapat berkelanjutan tanpa intervensi politik, namun di sisi lainnya proses pendewasaan demokrasi melalui pemilu juga dapat dilakukan tanpa adanya abusive power dari para stakeholders. Tidak hanya itu, khalayak umum juga dapat belajar mengenai tata kelola pemerintahan. Suara-suara sumbang yang selama ini hadir, yaitu konflik kepentingan di dalam pemerintahan dapat diminimalisir. Dengan adanya pemisahan porsi politik dan pemerintahan, maka kepercayaan dan pendidikan sosial politik masyarakat dapat diwujudkan. Dalam skala luas, hal ini dapat berimbas kepada peningkatan partisipasi masyarakat di dalam tidak hanya pembangunan namun juga politik. Jika demikian, pemilu 2024 dapat menciptakan lompatan sejarah pembaharuan proses pembangunan dan politik bagi Indonesia.
Oleh: Satria Aji Imawan
Dosen Departemen Administrasi Publik FISIP UNDIP