Berbeda dengan pelaksanaan pemilihan umum (Pemilu) di tahun-tahun sebelumnya, jalan menuju Pemilu 2024 mendatang tantangan serius dari gugatan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk meninjau kembali pelaksanaan sistem proporsional tertutup pada pemilu legislatif mendatang. Gugatan tersebut dilayangkan oleh enam orang pemohon yakni Demas Brian Wicaksono (kader PDI Perjuangan), Yuwono Pintadi, Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, dan Nono Marijono dengan nomor registrasi 114/PPU/XX/2022. Adapun pasal yang digugat adalah pasal 168 tentang sistem pemilu dengan tuntutan utama penerapan sistem pemilu tertutup. Situasi kian memanas, terutama setelah Denny Indrayana (mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM) menyatakan bahwa berdasarkan informasi yang kredibel, MK berpeluang untuk mengabulkan gugatan dan menerapkan sistem proporsional tertutup.
Publik gempar dengan desas-desus politik ini. Hakim konstitusi yang seharusnya bekerja secara jernih menimbang sistem mana yang paling baik untuk digunakan, berpatokan pada bagaimana uji Undang-Undang (UU) atas Undang-Undang Dasar (UUD), justru kian mendapatkan tekanan politik dari luar gedung MK. Terdapat tekanan yang kuat dari publik, politisi, dan elemen masyarakat sipil kepada MK untuk tetap dapat menerapkan sistem proporsional terbuka, dan tidak mengabulkan sistem proporsional tertutup. Hal ini cukup masuk akal, mengingat temuan empiris pada survei nasional oleh Populi Center dari tanggal 4 hingga 12 Mei 2023 terhadap 1200 responden dengan margin of error ± 2,83 persen di tingkat kepercayaan 95 persen menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat menyukai sistem pemilu yang langsung mencoblos nama calon anggota legislatif (64,8 persen) dibandingkan mencoblos tanda gambar partai (26,8 persen).
Sebenarnya tidak ada yang salah antara cara pandang terkait sistem proposional terbuka maupun sistem proporsional tertutup. Sistem proporsional tertutup memungkinkan partai politik memiliki kontrol yang lebih kuat kepada anggotanya yang terpilih sebagai anggota dewan, sehingga perbedaan antara partai politik lebih terlihat coraknya di parlemen. Pada sisi yang berbeda, sistem proporsional terbuka memungkinkan anggota partai tidak serta merta dapat sepenuhnya dikontrol oleh partai politik. Pun demikian hal ini berimplikasi pada tidak jelasnya corak partai di parlemen, terutama berkaitan dengan sikap partai pada kebijakan.
Sistem proporsional terbuka menjadi arus utama hingga saat ini mengingat sistem proporsional terbuka dinilai sesuai dengan semangat reformasi, bahwa rakyat memiliki kontrol terhadap sosok yang dipilihnya. Hal ini selaras pula dengan persoalan klasik pada partai politik kita, dimulai dengan lemahnya demokratisasi pada partai politik, hingga persoalan kebijakan dari partai politik yang bias elite. Hasil pada survei yang sama, pada pertanyaan terkait dengan kepercayaan terhadap partai politik, sebesar 55,3 persen (akumulasi skala 6 hingga 10) responden menyatakan bahwa partai politik dapat dipercaya. Ini merupakan nilai yang rendah dibandingkan 13 (tiga belas) lembaga negara lainnya. Disamping partai politik, terdapat dua lembaga lain yang turut mendapatkan persentase yang rendah, yakni DPR/DPRD (56,4 persen) dan DPD RI (55 persen). Melihat problematika di partai politik, tidak mengherankan apabila sistem proporsional terbuka dinilai sebagai opsi yang paling baik.
Meski demikian, sistem ini bukan tanpa cela. Penerapan sistem ini tidak serta merta menghilangkan praktik politik uang yang marak terjadi di pemilihan kepala daerah. Belum lagi persoalan banyaknya elite lokal yang tetap berada pada nomor urut atas, dan kecenderungan pemilih yang tidak terinformasi dengan baik (low information voters) untuk memilih siapa pun yang berada di peringkat atas dalam nomor urut di kartu suara. Persoalan tersebut tidak lantas mendorong partai politik untuk melakukan reformasi atas diri sendiri. Oleh karenanya tidak mengherankan apabila persoalan putusan MK mengenai kedua sistem ini menjadi sorotan. Terutama mengingat MK tidak lantas membuat keputusan, sedangkan tahapan pemilu telah berjalan. Banyak para calon anggota legislatif (caleg) yang telah mendaftarkan diri di tanggal 1 hingga 14 Maret 2023 lalu. Hal ini yang kemudian mendorong eskalasi politik di luar gedung MK meningkat tajam, terutama seiring dengan menguatnya narasi bahwa presiden akan ikut cawe-cawe (ikut campur) dalam Pemilu 2024 mendatang.
Menanggapi persoalan ini, berdasarkan desas-desus jalanan, saat ini terdapat opsi untuk melakukan sistem campuran (mixed system) dengan cara menggunakan sistem proporsional tertutup untuk pemilihan anggota legislatif di tingkat pusat, dan sistem proporsional terbuka untuk pemilihan anggota legislatif di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Menurut hemat saya, ini merupakan sistem yang paling ideal, terutama disebabkan oleh beberapa alasan. Pertama, sistem ini akan memberikan penguatan terhadap kontrol partai di tingkat pusat. Perbedaan corak yang jelas antar partai di tingkat pusat menjadi aspek penting untuk memastikan bahwa partai politik memiliki posisi yang jelas dalam kebijakan, termasuk posisi yang jelas dari aspek ideologi.
Kedua, sistem ini akan memberikan tekanan yang lebih besar ke DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota. Jarak aspirasi jadi semakin dekat, karena menurut hemat saya, banyak persoalan yang seharusnya masuk dalam ranah Gubernur atau Bupati/Walikota, namun karena interaksi yang lemah, semua coba dilarikan ke pusat. Hal ini bersinggungan pula dengan logika daerah pemilihan (dapil), bagaimanapun juga anggota DPR RI memiliki dapil yang sangat besar, sehingga aspirasi masyarakat tidak lantas dapat terakumulasi. Berbeda dengan anggota legislatif di tingkat provinsi dan kabupaten/kota yang memungkinkan aspirasi dapat terakumulasi dengan cepat.
Ketiga, secara tidak langsung sistem ini memaksa para politisi untuk dapat membangun karier dari daerah. Asumsinya para politisi dapat menjadi anggota legislatif terlebih dahulu, apabila sukses, dapat kemudian menjadi bupati, walikota, atau gubernur, sebelum pada akhirnya berkarir di pusat. Patut disadari, bahwa skenario ini tampak terlalu optimis, karena bagaimanapun juga demokratisasi partai menjadi syarat utama agar skenario ini dapat bekerja.
Terlepas dari perdebatan terkait skenario terbuka dan tertutup, penguatan terhadap representasi politik di legislatif patut untuk menjadi isu penting yang diperhatikan oleh publik maupun pemerhati pemilu. Momentumnya memang tidak ideal, seharusnya pembahasan mengenai ini dilakukan jauh hari sebelum pemilu dan menjadi isu publik, bukan lantas menaruh nasib pada keputusan 9 (sembilan) hakim konstitusi. Persoalannya, jika tidak dalam momen pemilu – ketika partai politik akan diadili kinerjanya oleh rakyat –, kapan lagi waktu yang tepat untuk tegak lurus memperkuat representasi politik kita. Waktunya memang kurang tepat, tetapi momentum ini patut untuk dikawal bersama. Sekian.
Disclaimer: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan instansi/organisasi mana pun.
Oleh: Rafif Pamenang Imawan
Peneliti, Populi Center