Tautan psikologi massa dengan demokrasi di era Pemilu tidak berjalan secara semestinya. Kalangan cendekiawan politik kemudian bingung menjelaskan ketika pemilu tidak berkorelasi langsung dengan demokrasi politik.
Refleksi terbaik bagi fenomena ini adalah kemenangan Donald Trump pada pemilu 2016 di Amerika Serikat (AS). Pemilu AS 2016 memperlihatkan adanya pergeseran demokrasi, dari politik ke ekonomi. Dengan tagline “Make American Great Again”, Trump mencoba menawarkan solusi riil, yaitu penciptaan lapangan pekerjaan dan pertumbuhan ekonomi makro.
Sekelumit cerita pemilu AS 2016 tersebut sesungguhnya tidak menunjukkan adanya penghapusan demokrasi. Demokrasi tetap bergerak namun dalam pendulum memenuhi kebutuhan masyarakat secara riil. Perpindahan rel demokrasi dari politik ke ekonomi ini dipandang sebagai bagian dari penyelewengan dari nilai asli dari demokrasi.
Publik lalu menganggap pemilu tanpa demokrasi politik adalah kemunduran. Padahal, elektoral dengan demokrasi adalah hal yang berbeda. Elektoral sudah ada sejak zaman kerajaan saat seorang raja harus mencari suksesor ketika dirinya dianggap sakit atau tidak mampu lagi memimpin. Sementara, demokrasi muncul atas semangat membebaskan diri belenggu dogma-dogma yang tidak masuk akal.
Dari penjelasan diatas terlihat bahwa elektoral berbicara soal bagaimana dapat menang, sementara demokrasi bercerita tentang bagaimana bisa bebas. Pemisahan yang memiliki makna yang berbeda ini kemudian sedikit banyak gagal dipahami oleh khalayak umum. Contohnya, tidak sedikit publik yang meradang tatkala mengetahui Prabowo-Gibran “memenangi Pilpres” versi quick count.
Prabowo-Gibran memperoleh suara diatas 50 persen dan berpotensi memenangkan pertarungan 2024 dalam satu putaran. Hasil yang sebenarnya tidak mengejutkan khalayak umum apalagi melihat tren elektabilitas keduanya yang stabil di angka 40-50 persen bahkan hingga mendekati hari pencoblosan suara. Tren ini kemudian secara reaksioner dipahami sebagai matinya demokrasi di Indonesia.
Serangkaian cerita diatas membawa berbagai pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan tersebut diantaranya adalah mengapa sebuah pasangan calon yang dianggap mencederai demokrasi politik tetap memenangkan Pemilu? Apakah demokrasi Indonesia secara umum benar-benar mati? Pertanyaan yang sebenarnya bisa dibaca melalui tracking sejarah dan peristiwa pengikutnya.
Psikologi Massa
Samuel Huntington pada tahun 1991 menulis artikel berjudul “Democracy Third’s Wave”. Tulisan tersebut menjelaskan adanya gerakan demokratisasi kepada dunia ketiga (negara-negara berkembang), termasuk Indonesia. Ide demokratisasi ini menempatkan kedaulatan politik sebagai mandat rakyat di dalam melakukan pembebasan diri terhadap belenggu ekonomi. Pendapat ini menekankan pada kesadaran kolektif untuk berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Dalam konteks Indonesia, puncak dari demokrasi gelombang ketiga adalah Reformasi 1998.
Sejak saat itu, Indonesia membangun dirinya sebagai negara demokrasi yang berdaulat. Bongkar pasang elit kemudian terjadi karena rakyat menuntut adanya transparansi dan akuntabilitas politik. Reparasi elit ini kemudian mencapai titik puncaknya pada pemilu 2004 saat publik memiliki hak untuk memilih pemimpinnya. Platform pemilu dan kedaulatan atau demokrasi politik kemudian dipertahankan hingga setidaknya 10 tahun kemudian.
Tahun 2014 bisa dikatakan sebagai tahun emas bagi Indonesia. Sebab, pada tahun inilah demokrasi politik di Indonesia berjalan untuk terakhir kalinya. Jokowi saat itu terpilih sebagai presiden dengan latar belakang yang biasa-biasa saja namun spesial. Bahkan, sebuah surat kabar pernah memasang foto Jokowi di cover majalahnya dan melabelinya sebagai “A New Hope For Democracy”. Dengan perolehan kedaulatan rakyat secara politik seperti itu, Jokowi kemudian bergegas kerja bagi pembangunan dan pertumbuhan ekonomi.
Banyaknya pencapaian monumental Jokowi di 2014 menyebabkan dirinya terpilih lagi di pemilu 2019 dengan suara 55 persen. Disadari atau tidak, pemilu 2019 inilah kemudian yang mengubah psikologi massa. Jika tahun 2014 massa terbuai dengan aspek demokrasi politik, maka 2019 sudah ada elemen ekonomi. Jokowi di 2014 dipilih karena representasi demokrasi politik rakyat, sementara 2019 terpilih kembali karena kerjanya bagi pembangunan dan ekonomi.
Pergeseran psikologi massa ini yang membuat Prabowo-Gibran memenangkan kontestasi 2024, apalagi dengan endorsement Jokowi dan tagline keberlanjutan. Ditambah lagi, Prabowo menggandeng Gibran sebagai representasi Jokowi sehingga seolah-olah masyarakat melihat Prabowo-Jokowi. Kombinasi sosok yang mewakili demokrasi politik sekaligus ekonomi, ditambah representasi Jokowi pada Gibran, membuat Prabowo unggul telak dan berpotensi besar memenangkan pilpres satu putaran dalam real count nanti.
Pemilu Covid-19
Kombinasi-kombinasi diatas juga diperkuat dengan tanda alam. Jika Huntington berbicara demokrasi dunia ketiga adalah soal politik, maka pandemi Covid-19 menyebabkan demokrasi meninggalkan politik dan banyak berbicara mengenai ekonomi. Pandemi Covid-19 telah merusak sendi-sendi ekonomi. Ditinjau secara domestik, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada saat pandemi hanya berkisar pada 5 persen, yang bertahan hingga 2023. Kondisi ini kemudian memicu negara-negara lain untuk berkonflik maupun berperang untuk mengembalikan neraca ekonomi, sesuatu yang tidak Indonesia tempuh.
Prakondisi pemilu 2024 inilah sangat menentukan gerakan di lapangan. Peristiwa Covid-19 menyebabkan publik berpikir pragmatis, yaitu siapa yang bisa memenuhi kebutuhan ekonomi dasar, maka dia yang dipilih. Pola pikir transaksional ini sudah hidup lama di dalam pikiran pemilih Indonesia, namun semakin masif dengan krisis ekonomi pasca Covid-19 yang masih terjadi.
Fenomena ini kemudian seakan menjelaskan mengapa Prabowo-Gibran tidak mengikuti program “Desak Anies” atau “Tabrak Prof” di dalam mendongkrak elektabilitas. Prabowo-Gibran tidak menjual ide dan justru menggunakan bantuan sosial sebagai bahan kampanye. Meskipun secara demokrasi politik ini adalah pelanggaran, namun secara demokrasi ekonomi, hal ini tidak dipermasalahkan. Justru dalam beberapa hal, Prabowo-Gibran dianggap dekat dengan rakyat karena mengetahui kebutuhan riil masyarakat, utamanya di tengah pemulihan krisis ekonomi Covid-19.
Covid-19 dapat dipandang sebagai faktor pendorong mengapa pemilu 2024 menjadi pragmatis. Mayoritas rakyat seakan ingin kebutuhan ekonominya dipenuhi terlebih dahulu baru kemudian berbicara politik. Jalan pikir logika tidak berjalan tanpa logistik nampaknya menjadi warna baru demokrasi ke depan, tidak hanya di Indonesia namun juga dunia. Pemilu ke depan, dengan semakin membaiknya ekonomi, pola pragmatis dan populis sepertinya tidak meninggalkan demokrasi kita. Terlebih, pemilu 2024 ini didominasi oleh anak muda dengan angka 52 persen pemilih. Artinya, psikologi massa pemilih nantinya akan benar-benar permanen di dalam bingkai demokrasi ekonomi. Bisa jadi desain silang pendapat di pemilu-pemilu mendatang lebih mengedepankan, misalnya, bagaimana mengatasi persoalan memenuhi kebutuhan gaya hidup ketimbang berbicara soal hak asasi manusia. Sesuatu yang harus kita respon sebagai bangsa di dalam mendesain pemilu sesuai dengan pergerakan psikologi massa pemilih.
Oleh: Satria Aji Imawan, S.I.P., MPA
Dosen Departemen Administrasi Publik FISIP UNDIP