Era Disrupsi 5.0 dan Urusan Kepemiluan

Dunia saat ini sejatinya telah memasuki era fast shifting atau pergeseran yang cepat dan acapkali serba tiba-tiba. Kondisi tersebut diakibatkan karena adanya era disrupsi ketika inovasi dan perubahan terjadi secara masif. Perubahan terjadi pada berbagai sistem dan tatanan dalam cara kerja yang baru. Fenomena perubahan yang terjadi tersebut juga dapat dimaknai sebagai era hiperkompetisi. Situasi kompetisi yang masif terjadi, pada era disrupsi, juga membawa dampak bagi pihak yang tidak dapat mengikuti perkembangan dan mempertahankan cara lama. Mereka menjadi tersisih dalam bersaing dengan pihak lain yang lebih lincah dan adaptif merespon perubahan.

Sejatinya, perubahan pada era disrupsi sering digaungkan oleh kaum muda. Pasalnya mereka adalah yang lebih terkait dan mampu mengikuti perkembangan teknologi dan informasi pada era disrupsi saat ini. Dunia terlebih saat ini juga mengalami shifting era akibat adanya disrupsi yang tidak lagi berfokus pada segala urusan yang berbau barat. Perlahan dunia timur atau peradabat timur dengan perkembangannya turut mulai diperhitungkan menjadi episentrum peradaban dunia baru. Penduduk dunia kini juga telah terbiasa dengan segala sesuatu yang berbau digital, mulai dari teknologi nano, bio teknologi, robotik, big data, artificial intelligence, dan lain sebagainya.

Urusan yang berkaitan dengan perkembangan teknologi dan informasi dalam berbagai hal di dunia ini muncul dalam kerangka era disrupsi 4.0 atau era revolusi industri 4.0 yang serba siber, komputasi, dan otomasi. Tentu perkembangan hal tersebut perlu keseimbangan karena praktiknya, era disrupsi 4.0 justru mengesampingkan keberadaan manusia. Dengan segala keterbatasan tersebut, ketika berbagai pihak masih belum selesai dengan perdebatan munculnya realitas disrupsi 4.0, beberapa pihak mencoba menawarkan adanya diskursus mengenai disrupsi 5.0. Diskursus baru tersebut ditawarkan untuk menyempurnakan beberapa kelemahan munculnya era disrupsi 4.0 tersebut. Era disrupsi 5.0 dikenal dengan era super smart society. Manusia menjadi komponen utama, dengan berelaborasi dengan perkembangan teknologi informasi yang serta siber, komputasi, dan otomasi untuk memaksimalkan efisiensi dan efektifitas dalam berbagai bidang. Tidak ada artificial intelligence yang bekerja secara optimal tanpa campur tangan sumber daya manusia yang cerdas di belakangnya.

Menciptakan masyarakat yang sadar akan adanya disrupsi 5.0 juga perlu dikenalkan pada pengelolaan urusan kepemiluan. Inovasi yang masif digencarkan dalam melakukan adopsi teknologi dan informasi tidak akan ada gunanya ketika tidak terjadi peningkatan kapasitas sumber daya manusia dalam mengelola adopsi teknologi dan informasi yang sudah digunakan. Revolusi cara kerja dalam pengelolaan urusan kepemiluan juga harus menitikberatkan pada integrasi antara teknologi canggih seperti internet of things dan artificial intelligence dengan keahlian manusia. Pada akhirnya dalam urusan penyelenggaraan pemilu maupun pada urusan pengawasan pemilu, akan tercipta cara kerja yang lebih efisien, fleksibel, berkelanjutan, dan meningkatkan kualitas dari penyelenggaraan pemilu di Indonesia.

Kondisi empiris saat ini kerja-kerja urusan kepemiluan seperti penggunaan Sipol dan sistem manajemen informasi lainnya, masih sebatas pada yang penting serba online, tanpa dibarengi dengan peningkatan kapasitas sumber daya manusia kepemiluan. Alhasil, yang terjadi tidak tercipta adanya data management yang optimal setelah segala sesuatu urusan berkaitan dengan kepemiluan telah di-online-kan. Banyak sumber daya manusia kepemiluan yang masih bingung bagaimana cara mengolah data dan informasi yang telah terhimpun dalam adopsi teknologi dan informasi tersebut. Meski kondisi tersebut merupakan sebuah fenomena wajar pad atahap awal adopsi teknologi dan informasi, akan tetapi kerja-kerja kepemiluan harus segera bergeser menjadi paradigma menyiapkan penyelenggara dan pengawas pemilu dengan pola pikir 5.0 yakni menghadirkan sumber daya manusia penyelenggaraan dan pengawasan pemilu yang smart dengan kemampuan learning agility.

Kemampuan learning agility perlu dimiliki oleh sumber daya manusia urusan kepemiluan dengan mengedepankan empat dimensi yakni, pertama, people agility, yang menitikberatkan pada kemampuan untuk dapat belajar dari pengalaman dan beradaptasi dengan cepat pada setiap tekanan yang muncul dari perubahan yang terjadi secara cepat. Kedua, results agility, yakni kemampuan dalam mendorong hasil yang optimal dalam kondisi yang sulit. Ketiga, mental agility, yakni kemampuan untuk berpikir dar sudut pandangan yang baru dengan kemampuan menjelaskan pemikiran baru tersebut kepada orang lain secara runtut dan jelas. Kelima, change agility, yakni kemampuan untuk selalu ingin tahun akan hal baru secara positif untuk memunculkan ide-ide baru dalam upaya peningkatan keterampilan dalam mengerjakan urusan-urusan kepemiluan.

Oleh: Jefri Adriansyah

Direktur Eksekutif Dignity Indonesia

Penulis

Share Article

Share on facebook
Share on twitter
Share on linkedin
Share on whatsapp
Share on print

Recent Posts

Follow Us