Pemangkasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk daerah, terutama Dana Transfer Umum (DTU), menimbulkan kekhawatiran serius. Banyak daerah, terutama di Indonesia Timur dan wilayah terpencil, masih sangat bergantung pada kucuran dana dari pemerintah pusat. Mereka berargumen, pemerataan pembangunan, yang menjadi amanat konstitusi, sulit tercapai jika ketersediaan dana dari pusat berkurang. Kebijakan ini, di satu sisi, mendorong daerah untuk mandiri, namun di sisi lain, berpotensi menghambat pembangunan di wilayah yang belum memiliki basis ekonomi kuat.
Fenomena pendapatan asli daerah (PAD) yang “habis” untuk belanja pegawai menjadi persoalan kronis. Kondisi ini menunjukkan ketidakseimbangan antara sumber pemasukan dan pengeluaran rutin di sejumlah daerah. Alih-alih digunakan untuk pembangunan infrastruktur, pendidikan, atau kesehatan, PAD justru tersedot habis untuk membayar gaji dan tunjangan aparatur sipil negara. Hal ini menjadi paradoks: daerah dituntut mandiri, tetapi sistem yang ada justru menciptakan ketergantungan dan inefisiensi. Pemangkasan anggaran dari pusat bisa jadi merupakan “cambuk” bagi daerah untuk lebih kreatif dalam mengelola keuangan dan mencari sumber PAD baru.
Langkah asosiasi kepala daerah melakukan audiensi dengan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menunjukkan urgensi persoalan ini. Pertemuan ini menjadi ajang kolaborasi antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Asosiasi kepala daerah menghadap dan menyajikan data yang valid mengenai tantangan fiskal di masing-masing wilayah mereka. Sementara itu, Kemenkeu perlu mendengarkan aspirasi dari daerah dengan empati, bukan hanya berorientasi pada target makro-ekonomi. Solusi yang adil dan berkelanjutan harus lahir dari diskusi dua arah, bukan keputusan sepihak.
Sebagai salah satu contoh daerah yang sedang dieksploitasi besar-besaran, Provinsi Maluku Utara memiliki cadangan nikel terbesar di Indonesia dan industri nikel menjadi motor utama ekonomi mereka. Berdasarkan laporan, peran komoditas nikel dalam pertumbuhan ekonomi Maluku Utara mencapai 75,3%. Bahkan, kinerja fiskal provinsi ini menunjukkan pertumbuhan positif, dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang terus meningkat dan pada tahun 2024 bahkan melampaui target. Ironi muncul ketika daerah yang ekonominya meroket berkat nikel dan memiliki PAD yang signifikan, tetap merasa tidak mendapatkan porsi yang adil dari pendapatan negara yang bersumber dari wilayah mereka. Kontribusi besar ini tidak diimbangi dengan alokasi APBN yang memadai, sehingga mereka tetap kesulitan membiayai pembangunan dan layanan publik secara mandiri. Hal ini membuka mata publik tentang perlunya mekanisme pembagian hasil kekayaan alam yang lebih adil dan transparan.
Pemotongan anggaran, menurutnya, bukan hanya masalah angka, melainkan isu keadilan sosial dan pemerataan pembangunan. Sherly Tjoanda selaku Gubernur Maluku Utara mendesak pemerintah pusat untuk melihat kondisi lapangan yang sesungguhnya. Solusi yang adil dan berkelanjutan harus lahir dari diskusi dua arah, bukan keputusan sepihak yang hanya menguntungkan pusat. Ini adalah perjuangan yang tak hanya tentang anggaran, tetapi juga tentang hak-hak dasar rakyat di daerah terpencil.
Pemerintah pusat tidak bisa lepas tangan begitu saja. Perlu ada kebijakan yang lebih terukur. Misalnya, memberikan insentif bagi daerah yang berhasil meningkatkan PAD-nya dan melakukan efisiensi belanja. Ataupun menggunakan metode lain seperti menciptakan skema pendanaan yang lebih fleksibel untuk proyek-proyek strategis di daerah terpencil. Dengan demikian, semangat kemandirian daerah bisa tumbuh, dan pemerataan pembangunan tetap menjadi prioritas utama. Singkatnya, pemangkasan anggaran harus diimbangi dengan strategi yang komprehensif untuk membantu daerah keluar dari jerat ketergantungan fiskal.
Oleh: Ibrahim Rusli Junior
Peneliti Dignity Indonesia


