Carut Marut Kebijakan Fiskal: Kenaikan PPN Ditunda, Kenaikan ’Katanya’ Untuk Barang Mewah Saja

Tok! Kebijakan kenaikan PPN menjadi 12% resmi ditunda, hal tersebut disampaikan oleh Presiden Prabowo bersama Menteri Keuangan Sri Mulyani saat rapat di Kementerian Keuangan Selasa, 31 Desember. Kebijakan ini resmi dibatalkan usai menuai banyak kontra dari masyarakat dan akhirnya keputusan tersebut dapat diambil saat injury time.

Sri Mulyani menambahkan bahwa kenaikan PPN berlaku bagi barang mewah, atau yang kita kenal dengan PPnBM. Kenaikan tersebut mulai diberlakukan per 1 Februari 2025. PPnBM yang maksud  adalah pesawat jet pribadi, kapal pesiar, serta kelompok hunian mewah seperti rumah mewah, apartemen, kondominium, dan town house.

Pada awal isu PPN ini bergulir, banyak perbedaan pandangan dari antar lembaga pemerintah. Hal ini menciptakan ketidakpastian terhadap objek yang dikenai penambahan PPN yang dapat berdampak negatif pada perekonomian. Pelaku usaha memerlukan kejelasan kebijakan untuk merencanakan strategi bisnis mereka, termasuk penentuan harga jual dan perencanaan produksi. Ketidakpastian mengenai tarif PPN dapat menghambat keputusan investasi dan ekspansi usaha, yang pada akhirnya dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.

Tidak hanya itu, masyarakat sebagai konsumen juga akan merasakan dampaknya. Kenaikan PPN secara umum berpotensi meningkatkan harga barang dan jasa, yang dapat menurunkan daya beli masyarakat. Dalam situasi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih usai pandemi, kebijakan fiskal seperti ini harus dipertimbangkan dengan cermat agar tidak menambah beban ekonomi bagi masyarakat luas.

Pemerintah harus segera bersinergi antar berbagai lembaga terkait untuk mengatasi ketidakjelasan ini. Koordinasi yang baik antara Presiden, Menteri Keuangan, dan DPR sangat penting untuk memastikan bahwa kebijakan yang diambil konsisten dan dapat dipahami oleh semua pihak. Transparansi dalam penyampaian informasi mengenai kebijakan PPN akan membantu mengurangi spekulasi dan kekhawatiran di kalangan masyarakat dan dunia usaha.

Pemerintah sebaiknya melakukan sosialisasi yang komprehensif mengenai rencana kenaikan PPN ini. Dengan memberikan penjelasan yang jelas dan terperinci tentang alasan di balik kebijakan tersebut, serta dampaknya terhadap perekonomian dan masyarakat, diharapkan dapat meningkatkan pemahaman dan dukungan publik. Sosialisasi yang baik juga akan membantu masyarakat dan pelaku usaha mempersiapkan diri menghadapi perubahan yang akan datang.

Pemerintah juga perlu mempertimbangkan kondisi ekonomi saat ini dalam menerapkan kebijakan fiskal. Jika kenaikan PPN dianggap dapat memberatkan masyarakat dan menghambat pertumbuhan ekonomi, mungkin perlu dipertimbangkan alternatif lain atau penundaan penerapan kebijakan tersebut. Fleksibilitas dalam pengambilan kebijakan akan menunjukkan bahwa pemerintah peka terhadap kondisi riil yang dihadapi oleh masyarakat dan dunia usaha.

Dalam konteks ini, peran DPR sebagai wakil rakyat sangat penting untuk memastikan bahwa kebijakan yang diambil oleh pemerintah sejalan dengan kepentingan masyarakat luas. DPR perlu aktif dalam melakukan pengawasan dan memberikan masukan konstruktif kepada pemerintah terkait rencana kenaikan PPN ini. Dengan demikian, diharapkan kebijakan yang dihasilkan dapat lebih komprehensif dan berpihak pada kesejahteraan rakyat.

Secara keseluruhan, ketidakjelasan mengenai rencana kenaikan PPN ini perlu segera diatasi melalui koordinasi yang baik antar lembaga pemerintah, transparansi informasi, dan pertimbangan matang terhadap kondisi ekonomi saat ini. Dengan pendekatan yang tepat, pemerintah diharapkan mengambil kebijakan fiskal yang dapat mendukung pertumbuhan ekonomi tanpa memberatkan masyarakat.

Terus kalau harga Popmie di kereta sudah naik, tanggungjawab siapa? 

Oleh: Ibrahim Rusli Junior
Peneliti Dignity Indonesia