Polemik Pemilihan Kepala Daerah Melalui DPRD: Mereduksi Semangat Reformasi

Pemilihan kepala daerah secara langsung merupakan bagian dari agenda reformasi. Belum genap satu bulan Pilkada Serentak terlewati, sejumlah pihak mengangkat wacana pemilihan kepala daerah melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Ide ini digagas oleh mereka yang berpendapat bahwa pemilihan langsung terlalu mahal dan rentan terhadap politik uang. Namun, di sisi lain, banyak yang melihat wacana ini sebagai kemunduran demokrasi yang mengancam prinsip kedaulatan rakyat, salah satu pilar utama dalam sistem politik Indonesia.

Pemilihan kepala daerah langsung merupakan salah satu hasil proses mereformasi sistem politik kita dengan memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk memilih pemimpin mereka secara langsung. Sistem ini dianggap lebih demokratis karena memberikan ruang bagi rakyat untuk berpartisipasi secara aktif dalam menentukan arah pembangunan daerah. Pemilihan melalui DPRD, meskipun lebih hemat anggaran, dikhawatirkan akan mengurangi keterlibatan masyarakat dalam proses politik dan mengembalikan pola oligarki politik yang mengutamakan kepentingan segelintir elit.

Argumen bahwa pemilihan langsung terlalu mahal memang relevan, terutama mengingat tingginya biaya yang dikeluarkan oleh negara maupun kandidat. Namun, biaya tersebut memang sejatinya dianggap sebagai investasi dalam membangun sistem demokrasi yang inklusif dan partisipatif. Masalah sesungguhnya bukan pada mekanisme pemilihan, melainkan pada lemahnya pengawasan terhadap praktik politik uang dan praktik korupsi untuk meraih suara elektoral. Solusi yang lebih tepat adalah memperkuat pengawasan dan regulasi, bukan mengganti mekanisme pemilihan dengan sistem yang lebih tertutup.

Wacana pemilihan melalui DPRD juga menimbulkan kekhawatiran berpotensi meningkatkan praktik-praktik politik transaksional dalam politik lokal. Dalam sistem ini, kepala daerah dipilih oleh anggota DPRD yang kerap memiliki hubungan erat dengan partai politik tertentu. Hal ini dapat membuka ruang untuk negosiasi politik yang tidak transparan, seperti bagi-bagi jabatan atau konsesi kebijakan, yang merugikan kepentingan publik. Pada akhirnya, masyarakat hanya menjadi penonton dalam proses yang seharusnya melibatkan mereka secara langsung.

Keputusan untuk mengubah mekanisme pemilihan juga dapat berdampak besar pada kepercayaan masyarakat terhadap sistem demokrasi kita. Selama ini, pemilihan langsung telah menjadi simbol kedaulatan rakyat dan wujud dari partisipasi aktif masyarakat dalam berpolitik. Jika mekanisme ini diubah, masyarakat dapat merasa teralienasi dari proses politik, yang pada akhirnya hanya akan menurunkan tingkat partisipasi politik secara keseluruhan.

Alternatif untuk memperbaiki sistem pemilihan langsung seharusnya menjadi fokus utama, bukan menghapusnya. Beberapa langkah yang dapat diambil meliputi peningkatan transparansi pembiayaan kampanye, penguatan sanksi terhadap pelanggaran pemilu, dan edukasi politik bagi masyarakat. Mungkin dengan cara-cara di atas biaya politik dapat ditekan tanpa harus mengorbankan prinsip demokrasi yang telah diperjuangkan dengan susah payah selama era reformasi.

Wacana pemilihan kepala daerah melalui DPRD seharusnya menjadi momentum untuk merenungkan kembali tantangan dan peluang dalam memperbaiki sistem politik Indonesia. Demokrasi yang sehat membutuhkan partisipasi aktif masyarakat, pengawasan yang ketat, dan transparansi dalam setiap proses politik. Mengembalikan pemilihan ke DPRD bukanlah solusi, melainkan langkah mundur yang dapat melemahkan kedaulatan rakyat dan integritas demokrasi kita.

Jadi bukanlah pemilihan kepala daerah secara tidak langsung justru semakin merugikan masyarakat? 

Oleh: Ibrahim Rusli Junior
Peneliti Dignity Indonesia