Seluruh mata menuju ke Daerah Khusus Jakarta. Pasalnya, Tim Pemenangan Ridwan Kamil dan Suswono (RIDO) menyatakan walkout pada saat pembacaan hasil pleno di KPU Provinsi DK Jakarta. Pasangan yang diusung Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus itu menyatakan akan mengajukan gugatan Perselisihan Hasil Pemilu (PHPU) ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Malam menunjukkan pukul 23.59, pada 11 Desember 2024 lalu atau batas waktu pengajuan PHPU, Kim Plus tidak terlihat mengajukan gugatan hasil Pilkada DK Jakarta 2024 ke MK. Hal ini menandai babak akhir dari dinamika politik yang penuh intrik dan strategi. Langkah ini diambil atas arahan pimpinan koalisi, menunjukkan sikap legawa dan penerimaan terhadap hasil pemilihan, meskipun sebelumnya terdapat indikasi ketidakpuasan atas proses dan hasil yang ada.
Pilkada DK Jakarta 2024 menjadi sorotan utama karena melibatkan aktor-aktor politik besar dan koalisi partai yang amat kompleks. KIM Plus, yang terdiri dari berbagai partai pendukung Ridwan Kamil dan Suswono, awalnya mempertimbangkan untuk mengajukan gugatan ke MK terkait hasil pemilihan. Namun, keputusan untuk tidak melanjutkan gugatan ini mencerminkan adanya pertimbangan strategis dan arahan dari pimpinan koalisi, yang mungkin melihat bahwa langkah hukum tidak akan memberikan hasil yang diharapkan atau justru memperpanjang ketegangan politik.
Sikap menerima hasil Pilkada tanpa melanjutkan ke jalur hukum juga mendapat respon positif dari berbagai pihak. Partai NasDem, misalnya, menyatakan bahwa dengan tidak adanya gugatan ke MK, proses Pilkada DK Jakarta secara resmi telah selesai, dan semua pihak diharapkan dapat menghormati hasil tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa keputusan KIM Plus untuk tidak mengajukan gugatan turut berkontribusi pada stabilitas politik dan penghormatan terhadap proses demokrasi yang telah berjalan.
Namun, di balik keputusan ini, terdapat dinamika politik yang kompleks. Pembentukan KIM Plus sebelumnya dianggap oleh beberapa pengamat sebagai upaya untuk menghalangi kandidat tertentu, seperti Anies Baswedan, dari kontestasi Pilkada DKI Jakarta. Wacana ini memicu resistensi publik dan menimbulkan kesan bahwa ada upaya politicking yang tidak sehat dalam proses demokrasi. Keputusan untuk tidak melanjutkan gugatan ke MK mungkin juga dipengaruhi oleh pertimbangan untuk meredam resistensi tersebut dan menjaga citra koalisi di mata publik.
Selain itu, putusan MK yang mengubah ambang batas pencalonan kepala daerah juga mempengaruhi dinamika politik di DK Jakarta. Perubahan ini membuka peluang bagi lebih banyak calon untuk maju, sehingga strategi koalisi besar seperti KIM Plus perlu disesuaikan. Beberapa pihak bahkan menyarankan agar koalisi besar tersebut membubarkan diri dan masing-masing partai mengusung calon sendiri-sendiri, sesuai dengan semangat kompetisi yang sehat dalam berdemokrasi.
Oleh: Ibrahim Rusli Junior
Peneliti Dignity Indonesia