Lagi dan Lagi, Baju Coklat Berulah Lagi

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 di Indonesia kembali menyoroti isu krusial, yakni tentang netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN). Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) telah mencatat ada 433 laporan dugaan pelanggaran netralitas ASN selama Pilkada 2024, dengan 314 kasus di antaranya terbukti melanggar dan telah direkomendasikan ke Badan Kepegawaian Negara (BKN) untuk ditindaklanjuti. Fakta ini menunjukkan bahwa meskipun regulasi telah diterapkan, praktik di lapangan masih jauh dari kata ideal, dan ini menimbulkan kekhawatiran atas integritas proses demokrasi di tingkat lokal itu sendiri.

Netralitas ASN sejatinya adalah fondasi penting dalam menjaga keseimbangan kekuasaan dan memastikan pelayanan publik tetap berjalan secara profesional. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara menegaskan bahwa ASN harus bebas dari pengaruh politik dan kepentingan tertentu. Namun, realitas politik lokal sering kali menjadi celah bagi sejumlah pihak untuk memanfaatkan ASN sebagai alat politik demi memenangkan kontestasi Pilkada.

Fenomena pelanggaran netralitas ASN banyak dipengaruhi oleh hubungan antar perorangan antara ASN dengan calon kepala daerah, terutama petahana. Dalam banyak kasus, ASN terjebak dalam situasi sulit karena tekanan politik dari atasan atau lingkup kerja mereka. Hal ini diperburuk dengan minimnya edukasi dan pemahaman ASN terkait pentingnya menjaga netralitas dalam pemilu, sehingga mereka sering kali tidak menyadari bahwa tindakan mereka melanggar aturan.

Konsekuensi dari pelanggaran ini sangat luas dan berdampak serius terhadap demokrasi. Ketidaknetralan ASN tidak hanya mencederai prinsip keadilan dalam pemilu, tetapi juga dapat merusak kepercayaan masyarakat terhadap birokrasi. Ketika ASN terlihat memihak salah satu kandidat, masyarakat menjadi skeptis terhadap kemampuan negara untuk mengelola pemerintahan secara adil dan tanpa bias.

Bawaslu sebagai lembaga pengawas telah mengambil langkah-langkah konkret untuk menindak pelanggaran ini. Dari 314 kasus yang terbukti melanggar, Bawaslu telah merekomendasikan sanksi ke Badan Kepegawaian Negara (BKN), mulai dari teguran hingga pemberhentian. Namun, upaya ini belum sepenuhnya efektif karena kompleksitas birokrasi itu sendiri dan potensi intervensi politik dari pihak-pihak yang berkepentingan.

Partisipasi masyarakat dalam melaporkan dugaan pelanggaran menjadi salah satu elemen kunci dalam memperkuat pengawasan. Kesadaran masyarakat yang semakin meningkat terhadap pentingnya menjaga netralitas ASN terlihat dari banyaknya laporan yang diterima Bawaslu terkait dugaan pelanggaran. Namun, partisipasi ini harus sejalan lurus dengan keberanian lembaga penegak hukum untuk bertindak tegas tanpa pandang bulu.

Tantangan terbesar di depan mata adalah membangun budaya netralitas ASN yang kuat dan berkelanjutan. Hal ini memerlukan pendekatan holistik, mulai dari edukasi ASN, perbaikan sistem pengawasan, hingga penerapan sanksi yang konsisten. Tanpa langkah yang komprehensif, pelanggaran semacam ini akan terus berulang dan mendegradasi nilai-nilai demokrasi kita.

Netralitas ASN bukan hanya tentang kepatuhan terhadap aturan, tetapi juga soal menjaga kepercayaan masyarakat terhadap sistem demokrasi yang telah kita sepakati. Pilkada adalah momentum penting yang menentukan arah pembangunan daerah, dan keberhasilannya sangat bergantung pada integritas semua pihak yang terlibat, termasuk ASN. Jika isu ini tidak ditangani dengan serius, konsekuensinya tidak hanya dirasakan dalam proses pemilu, tetapi juga dalam tata kelola pemerintahan sehari-hari.

Permasalahan Netralitas ASN selalu terjadi di setiap penyelenggaraan pemilu dan pilkada. Lantas siapa yang mampu mengakhirinya?

Oleh: Ibrahim Rusli Junior, S.H.

Peneliti Dignity Indonesia