Penyandang disabilitas memiliki hak sama untuk terlibat dalam setiap aspek kehidupan, termasuk dalam Pemilu. Meskipun demikian, keterbatasan dalam beberapa hal menyebabkan akses yang dimiliki penyandang disabilitas menjadi lebih sempit. Untuk itulah diperlukan tindakan afirmatif yang dapat mendorong partisipasi kelompok penyandang disabilitas dalam penyelenggaraan Pemilu.
Menurut UU 8/2016, Penyandang disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainya berdasarkan persamaan hak.
Ada beberapa pendekatan dalam memandang disabilitas. Pertama adalah pandangan model medical dimana disabilitas dipahami sebagai kondisi kesehatan seseorang. Kedua adalah pendekatan model charity dimana disabilitas dipandang sebagai objek yang mebutuhkan bantuan. Ketiga adalah pendekatan model sosial yang memandang bahwa disabilitas muncul saat masyarakat tidak mengakomodasi kebutuhan penyandang disabilitas. Terakhir adalah pendekatan model right based yang memandang bahwa penyandang disabilitas memiliki hak yang setara dengan non disabilitas.
Berdasarkan jenisnya, disabilitas digolongkan menjadi berbagai macam kategori. Namun demikian setidaknya terdapat empat kategori umum. Pertama adalah disabilitas fisik yaitu mereka yang memiliki hambatan fisik (tuna daksa). Kedua adalah disabilitas sensorik yaitu mereka yang memiliki hambatan penglihatan (tuna netra), dan pendengaran (tuna rungu). Ketiga adalah disabilitas intelektual yaitu mereka yang mengalami kesulitan belajar (tuna grahita). Terakhir adalah disabilitas mental atau psikososial yaitu mereka yang mengalami hambatan berupa gangguan perilaku. Masing-masing jenis disabilitas ini memiliki hambatan tersendiri dalam hal pemenuhan hak politik mereka. Tindakan afirmatif yang diperlukan tentunya juga berbeda-beda.
Dalam konteks Pemilu, sebagai pemilih disabilitas perlu berbagai fasilitas sebagai upaya menanggulangi berbagai rintangan yang dihadapi mereka. Rintangan itu bukan sekedar saat pencoblosan di TPS namun juga sudah ada sejak tahapan Pemilu dilaksanakan. Oleh sebab itu berbagai model afirmasi yang disediakan seharusnya juga mencakup proses tahapan. Sebagai contoh penyediaan surat suara untuk tuna netra di TPS merupakan bentuk afirmasi saat pemungutan suara. Namun demikian, informasi mengenai tata cara pencoblosan maupun preferensi pilihan bagi pemilih saat kampanye masing-masing kandidat relatif masih sulit dijangkau oleh pemilih dengan jenis disabilitas tertentu.
Pelibatan penyandang disabilitas dalam proses Pemilu juga sangat penting. Setidaknya dalam konsultasi partisipasi dan masukan mereka sangat penting untuk mengetahui sebenar-benarnya kebutuhan dan aspirasi mereka dari sudut pandang mereka sendiri. Sesungguhnya dengan cara-cara demikian maka tindakan-tindakan afirmatif yang disediakan benar-benar merupakan kebutuhan riil yang tidak hanya didasari asumsi semata.
Pada Pemilu 2019 diketahui ada 35 penyandang disabilitas yang ikut berpartisipasi menjadi calon anggota legislatif. Mereka berasal dari berbagai partai politik. Hal ini bisa menjadi bukti bahwa penyandang disabilitas memiliki peluang untuk ikut berkompetisi dalam Pemilu. Catatan dari solider.id menunjukan bahwa mereka berasal dari berbagai daerah pemilihan yaitu provinsi Aceh 2 orang, Jawa Barat 3 orang, Jawa Tengah 5 orang, Jawa Timur 1 orang, DIY Yogyakarta 3 orang, DKI Jakarta 4 orang, Riau 1 orang, Kalimantan Barat 1 orang, Kalimantan Timur 5 orang, Sulawesi Selatan 4 orang, Sulawesi Barat 3 orang, Nusa Tenggara Timur 1 orang, Papua 1 orang, Papua Barat 1 orang. Hitungan ini belum termasuk yang mencalonkan pada tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.
Untuk Pemilu 2024, saat ini belum ada data pasti mengenai jumlah penyandang disabilitas yang ikut mencalonkan diri menjadi legislator. Harapannya, ada semakin banyak yang berani mencalonkan diri, sekaligus juga bisa terpilih. Tentunya juga dengan mempertimbangkan kapasitas caleg yang bersangkutan. Terpilihnya beberapa legislator dari kalangan penyandang disabilitas merupakan peluang semakin banyaknya perspektif inklusif yang muncul dalam proses legislasi ke depan. Tentunya kebutuhan-kebutuhan afirmasi terhadap kelompok penyandang disabilitas ini semakin valid jika disuarakan oleh kalangan yang memang sehari-harinya bergelut dengan hal tersebut.
Oleh: Dista Risanti Hanggraini
Lingkar Studi Parikembang