Kita perlu merenungkan kembali slogan pemilihan umum (pemilu) yang acapkali diterjemahkan sebagai pesta demokrasi. Pesta dimana seluruh rakyat turut terlibat dalam keseluruhan proses elektoral, justru berbanding terbalik dari harapan tersebut. Pada praktiknya, kita dipertontonkan kepada perihal yang bersifat sangat elitis, semisal keputusan partai politik dalam menentukan kandidat yang akan berkompetisi dalam perebutan kursi kekuasaan.
Perhatian terhadap ruang kandidasi partai politik menjadi penting untuk kita pahami mengingat ini menjadi salah satu bentuk demokrasi, salah satu bentuk partisipasi publik dalam politik elektoral. Publik selama ini acapkali taken for granted (menerima begitu saja) terhadap kandidat yang berkompetisi dalam perebutan kursi kekuasaan. Mereka tidak mengetahui bagaimana proses awal hingga pada akhirnya kandidat tersebut yang dipilih oleh partai politik. Bagi Gallagher (1988) penjelasan kandidasi internal partai politik menjadi ruang gelap yang tidak dapat disentuh oleh siapapun.
Pendapat itu perlahan runtuh tatkala kajian dari Rahat & Hazan (2001) muncul. Hasil kajiannya mencoba mengukur tingkat demokratis pemilihan kandidat menjadi dua tarikan spektrum besar antara inklusif dan eksklusif. Keduanya mengukurnya dengan empat variabel sebagai dasar demokratis tidaknya pemilihan kandidat yang dilakukan oleh partai politik. Empat variabel tersebut di antaranya: 1) dimensi kandidasi; 2) dimensi pemilih kandidat; 3) dimensi tingkat pengambilan keputusan (sentralistis dan desentralisasi); 4) dimensi sistem voting/penunjukan. Keempat variabel tersebut kemudian memunculkan premis utama yang coba ditawarkan, yaitu demokratis tidak demokratisnya pemilihan kandidat dipengaruhi oleh tingkat pengambilan keputusan, apakah keputusan sifatnya terpusat atau terdistribusikan. Kajian Rahat & Hazan (2001) kemudian mengantarkan kepada beragam kajian seputar kandidasi internal partai.
Lundell (2004) misalnya, mengambil konteks kajian pemilihan kandidat yang dilakukan partai politik di Nordic (re: Eropa Timur) dan Eropa Selatan. Hasil kajiannya menunjukkan fakta bahwa partai kecil cenderung menerapkan hasil keputusan yang terdesentralisasi pada saat pemilihan kandidat. Argumentasi ini terbangun dengan melihat kondisi partai kecil yang sangat mengandalkan organ lokal. Disisi lain, partai besar memiliki kecenderungan untuk sentralistis dalam pengambilan keputusan pemilihan kandidat. Alhasil, absennya keterlibatan publik dalam proses ini berimplikasi kepada arah kebijakan yang didesain oleh partai politik yang mana lebih menguntungkan kepentingan elite partai politik.
Tesis Lundell (2004) sejalan dengan realitas di Indonesia bahwa sejumlah partai politik besar di Indonesia yang kerapkali menerapkan keputusan dari para elite partai politik (Mahadi, 2011; Debora, 2013). Mahadi (2011) dan Debora (2013) mengambil pengalaman dari sistem rekrutmen partai PDI-Perjuangan pada level pemilihan Walikota (pilwakot). Hasil kajian keduanya menunjukkan argumentasi yang sama bahwa tingkat keputusan pemilihan kandidat Walikota selama ini berkiblat kepada keputusan pimpinan pusat partai politik. Tidak ada ruang bagi publik untuk terlibat dalam proses tersebut.
Kritik atas tersentralisasinya mekanisme pemilihan kandidat direspon oleh aktor alternatif, salah satunya komunitas relawan. Salah satu komunitas relawan di Yogyakarta, bernama Jogja Independent (JOINT), memiliki keunikan tersendiri dibandingkan dengan komunitas relawan pada umumnya (Imawan, AP., 2018). Seperti kondisi saat komunitas relawan di Indonesia marak bermunculan sekitar tahun 2014-2017 seperti Teman Ahok dan Relawan Jokowi. Keduanya memiliki karakteristik yang sama yaitu telah menentukan kepada salah satu kandidat tertentu. Karakteristik ini yang berbeda dengan JOINT mengingat JOINT berinisiatif untuk menghadirkan kandidat yang akan diusung dan didukung.
Komunitas relawan ini kemudian membawa gagasan di luar mainstream, yaitu mengusung kandidat independen. Pada hakikatnya, hal ini tidak menyalahi regulasi yang ada bahwa sebenarnya siapapun memiliki kesempatan untuk dapat mencalonkan diri sebagai kandidat independen asalkan mendapat kuota dukungan KTP yang ditetapkan.
Ruang tersebut kemudian dimanfaatkan JOINT. Mereka membuka kesempatan kepada publik untuk menjadi kandidat independen yang didukung oleh JOINT. Beragam aktivitas pun dilakukan, mulai dari penjaringan kandidat hingga keputusan akhir kandidat yang diusung dalam pemilihan Walikota (pilwakot) tahun 2017. Ekspektasi indah ini ternyata tidak berujung kepada sesuatu yang memuaskan. Logika kandidasi yang dilakukan oleh JOINT sebagai komunitas relawan, tidak berbeda dengan pengalaman mekanisme pemilihan kandidat partai politik selama ini. JOINT terjebak pada logika kandidasi dari partai politik yang kerap mengadopsi nilai-nilai sentralisme keputusan dari partai politik di Indonesia (Imawan, A.P., 2018).
Pelajaran penting dapat kita ambil dari pengalaman kandidasi baik oleh partai politik dan komunitas relawan di Indonesia hingga saat ini. Dari kandidasi partai politik, kita dapat belajar bahwa logika kandidasi partai politik selama ini masih terjebak kepada pemahaman yang tersentralisasi. Sedangkan bagi komunitas relawan, kita dapat mengetahui sekalipun komunitas relawan berdiri atas kehendak publik dan mengusung kandidat dari publik, tidak akan ada artinya apabila keputusan masih terpusat kepada kalangan elite komunitas relawan. Hal ini berimplikasi kepada tidak terjaringnya simpati publik. Oleh karenanya, keduanya perlu melepaskan diri dari jeratan nilai-nilai eksklusif pengambilan keputusan pada kandidasi.
Lantas, dampak apa yang terjadi dari hal ini apabila keputusan eksklusif dilakukan? Pertama, kandidasi yang tertutup berujung kepada pembentukan batas antara pemilih dan calon. Terputusnya linkage di antara keduanya, kemudian berimplikasi terhadap tidak terbangunnya kepercayaan (trust) publik terhadap kandidat ataupun partai politik. Kedua, penurunan kualitas nilai demokrasi. Kondisi saat ini, partai politik seringkali menghadirkan calon yang diharapkan petinggi partai, bukan harapan publik. Bagaimana mungkin jika slogan pemilu adalah pesta rakyat, namun kandidat yang hadir adalah hasil keputusan petinggi partai politik? Oleh karenanya, sudah saatnya bagi partai politik untuk berbenah diri mendorong kandidasi yang demokratis dengan melibatkan publik dalam keputusan pemilihan kandidat.
Referensi
Debora, S. (2014). Pelembagaan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI Perjuangan): Studi Kasus Kandidasi Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Malang Tahun 2013. Jurnal Politik Muda.
Imawan, A. P. (2018). Politik Relawan di Indonesia: Eksperimen Komunitas Relawan Menjelang Pilwakot Yogyakarta tahun 2017. Publikasi Research Center for Politics and Government (PolGov).
Lundell, K. (2004). Determinants of Candidate Selection: The Degree of Centralization in Comparative Perspective. Party Politics, 10(1), 25-47.
Mahadi, H. (2011). Pragmantisme Politik: Studi Kasus Proses Rekrutmen Politik PDI-P Pada Pilkada Kabupaten Sleman. Jurnal Studi Pemerintahan, 2(1).
Rahat, G., & Hazan, R. Y. (2001). Candidate Selection Methods: An analytical framework. Party Politics, 7(3), 297-322.