Sistem demokrasi langsung yang dianut Indonesia telah membawa konsekuensi-konsekuensi logis di dalam perumusan kebijakan publik kita. Dengan demokrasi langsung, masyarakat memiliki ruang untuk menyampaikan aspirasinya tidak hanya dalam memilih pemimpin, namun juga berkontribusi di dalam proses perumusan kebijakan publik. Beberapa ide partisipasi publik secara demokratis di dalam kebijakan publik terlihat dalam pertemuan-pertemuan komunitas, pertemuan antar pengambil kebijakan atau kelompok pengaruh, dan/atau ruang formal seperti musyawarah pembangunan. Bahkan, dalam kacamata masyarakat sebagai pengguna layanan, demokrasi kebijakan publik dapat terlihat melalui teknologi dan status media sosial (Bishop & Davis, 2002).
Terdapat beberapa konsekuensi ketika keran demokrasi tidak hanya diarahkan kepada partisipasi politik, namun juga partisipasi kebijakan. Konsekuensi pertama adalah kontestasi yang terjadi di masyarakat. Dengan ruang demokrasi dan partisipasi publik di dalam kebijakan publik, arena pertarungan juga terjadi di dalam elit masyarakat. Maka, tidak heran kemudian ketika demokrasi langsung di dalam kebijakan publik kadang menimbulkan petisi kebijakan, demonstrasi, dan boikot dari masyarakat (ABELS, 2007). Hal ini tidak lepas dari kontrol sosial yang sulit dilakukan. Jika pemerintah melakukan kontrol demokrasi di dalam regulasi, maka masyarakat menerapkan standar moral dan etika di dalam kebijakan, yang terkadang kabur.
Konsekuensi kedua adalah kontestasi data di dalam kebijakan publik. Secara lateral, dengan dibukanya ruang demokrasi, maka kebijakan publik akan lebih partisipatif, akuntabel, dan adaptif terhadap perkembangan. Namun, fenomena yang tidak jarang terjadi adalah kebijakan yang jauh dari data empiris, justru lebih kepada data politis. Jacobs (2014) menjelaskan fenomena ini sebagai kontestasi kebijakan publik dengan nilai-nilai kepublikan. Dalam pandangannya, kebijakan publik di dalam demokrasi justru menimbulkan dilema nilai-nilai publik yang dipegang karena kontestasi yang terjadi di pemerintah dan masyarakat adalah kontestasi politik ketimbang data masalah.
Kedua contoh diatas memperlihatkan demokrasi di dalam kebijakan publik haruslah berkualitas. Kualitas demokrasi inilah yang mempengaruhi produk kebijakan. Dalam hal ini, masing-masing entitas baik pemerintah maupun masyarakat harus mampu ego individual ataupun kelompok di dalam perumusan kebijakan publik. Dalam hal ini, ide mengenai kebijakan publik haruslah sama, tidak bias kepentingan publik ataupun kepentingan politisi pemenang Pemilu sebagai ekses demokrasi. Ide yang harus dipegang adalah kebijakan publik yang sebaik mungkin memenuhi aspirasi publik tanpa memperlihatkan background seseorang,
Urgensi ini bukan tanpa alasan sebab banyak contoh yang memperlihatkan ketika kualitas demokrasi, ide mengenai kebijakan publik, dan partisipasi menjadi bias kepentingan, maka kebijakan publik yang dihasilkan juga tidak baik. Contoh pertama yang bisa dipotret adalah kondisi pasca Pemilu Amerika Serikat (AS) di tahun 2016. Saat itu, Donald Trump terpilih sebagai Presiden AS ke-45 dengan Pemilu dan demokrasi yang kala itu bisa dikatakan bobrok. Hal ini telah berdampak kepada perumusan kebijakan publik. Alamillo et al. (2019) mengatakan bahwa pada era Trump, isu kebijakan imigrasi menjadi isu paling curam. Efek ini berkepanjangan, Gallup (2018) memaparkan laporan bahwa per Januari 2018, sekitar 15% penduduk Amerika Serikat mengatakan bahwa isu imigrasi menjadi isu paling penting, dimana isu ini mengalahkan isu ketidakpuasan terhadap pemerintah. Data ini dilengkapi fakta bahwa per Februari 2018 terdapat 25% pendukung partai Republik berbanding 6% pendukung partai demokrat percaya bahwa kebijakan imigrasi menjadi isu yang paling penting bagi AS. Fakta ini cukup menarik melihat isu krusial kebijakan publik pasca Obama justru terletak pada kesehatan dan kredit perumahan sebagai dampak dari krisis global (Hanlon, 2012).
Contoh kedua adalah bagaimana Britania Raya melakukan referendum dengan keluar dari Uni Eropa, yang dikenal sebagai sebutan Brexit. Kala itu, masyarakat Britania Raya menempuh jalan arogansi dengan keluar dari keanggotaan EU sebagai bagian dari solusi masalah imigran di negaranya. Jalan yang ditempuh tersebut berdampak kepada kebijakan publik yang kacau balau di Britania Raya. Belum lama setelah diresmikan keluar, Britania Raya dihadapkan kepada masalah perdagangan ikan (Ormerod, 2003). Masalah ini diperparah dengan sektor ekonomi lainnya mengingat lokasi Britania Raya cukup terisolasi dengan negara lainnya kecuali negara-negara Uni Eropa. Langkah ini pun kemudian diantisipasi dengan membentuk aliansi baru bernama AUKUS (Australia-UK-US), yang sebenarnya adalah wujud kerjasama lama bukan kerjasama baru.
Kedua contoh empiris diatas semestinya menjadi perhatian bagi Indonesia. Dengan penduduk yang besar, sistem kenegaraan yang hampir mirip, dan sistem Pemilu yang tidak jauh beda, sebenarnya membawa Indonesia mirip dengan US. Modal sosial kependudukan yang besar dan demokrasi yang tumbuh semestinya dibarengi dengan pembenahan sistem demokrasi yang berkualitas. Dengan sistem demokrasi berkualitas, otomatis pemimpin-pemimpin yang terpilih juga berkualitas, yang kemudian akan berdampak kepada kebijakan publik yang berkualitas. Modal sosial penduduk yang besar semestinya juga bisa dimanfaatkan oleh Indonesia untuk membangun kualitas diri agar suara yang disampaikan juga berkualitas.
Sekiranya hal itu yang dapat dijadikan perhatian. Abraham Lincoln pernah berujar bahwa demokrasi itu adalah dari rakyat, ke rakyat, dan untuk rakyat. Jika memang demikian, ketika kualitas demokrasi yang baik dapat berdampak kepada kebijakan publik yang selaras. Artinya, ketika kualitas demokrasi mampu dibenahi, maka kita dapat meminimalisir kemungkinan kebijakan publik yang error. Pembangunan kualitas demokrasi ini sekali lagi menekankan kepada dua hal, pemerintah dan masyarakat. Pemerintah membangun sistem Pemilu yang baik, sementara itu masyarakat fokus membangun penyampaian aspirasi yang berkualitas Keduanya penting di dalam Governance kebijakan publik karena menempatkan masyarakat sebagai mitra kebijakan publik pemerintah. Jika kualitas demokrasi ini mampu dibangun, maka kebijakan publik kita akan makin berkualitas, yang tidak hanya berbicara mengenai politically correct, namun juga technically correct.
Referensi
ABELS, G. (2007). Citizen Involvement in Public Policy-making: Does it Improve Democratic Legitimacy and Accountability? The Case of pTA. Interdisciplinary Information Sciences, 13(1), 103–116. https://doi.org/10.4036/iis.2007.103.
Alamillo, R., Haynes, C., & Madrid, R. (2019). Framing and immigration through the trump era. Sociology Compass, 13(5), 1–11. https://doi.org/10.1111/soc4.12676.
Bishop, P., & Davis, G. (2002). Mapping public participation in policy choices. Australian Journal of Public Administration, 61(1), 14–29. https://doi.org/10.1111/1467-8500.00255.
Gallup. (2018). Immigration Jumps as Top Problem , Still Trails Government. Https://News.Gallup.Com/Poll/227021/Immigration-Jumps-Top-Problem-Trails%20government.Aspx?
Hanlon, M. (2012). Obama’s Weak and Failing States Agenda. The Washington Quarterly, 35(4), 67–81.
Jacobs, L. R. (2014). The contested politics of public value. Public Administration Review, 74(4), 480–494. https://doi.org/10.1111/puar.12170.
Ormerod, S. J. (2003). Current issues with fish and fisheries: Editor’s overview and introduction. Journal of Applied Ecology, 40(2), 204–213. https://doi.org/10.1046/j.1365-2664.2003.00824.x.