Dalam politik distribusi anggaran, setidaknya dikenal dua istilah yakni klientalisme dan politik gentong babi. Tulisan ini mengulas secara singkat apa sebenarnya yang dimaksud dengan dua hal tersebut dan perbedaan antara keduanya. Setidaknya pemahaman dasar mengenai politik anggaran dapat memberikan pemahaman bagaimana cara kerja dari hal tersebut dan upaya untuk mengantisipasinya demi terciptanya demokrasi di Indonesia yang lebih berintegritas dan berkualitas.
Klientalisme adalah salah satu praktik politik distribusi anggaran yang acap kali dilakukan atas dasar hubungan patron dan klien yang memiliki kecenderungan muncul di negara berkembang. Dalam beberapa kondisi, praktik politik Klientalisme masih banyak menghinggapi perpolitikan di Indonesia. Praktik ini biasanya ditandai dengan adanya penguasaan sumberdaya publik oleh minoritas elit, terutama elit Negara (Hanif, 2009). Di sisi lain, klien juga memiliki ketergantungan akan sumberdaya tersebut. Yang kemudian muncul adanya pertukaran sumberdaya dengan loyalitas antara patron dengan klien. Jelasnya klientalisme adalah istilah yang menggambarkan distribusi manfaat secara selektif kepada individu-individu atau kelompok tertentu sebagai imbalan atas dukungan politik (Katz, 2014).
Jika dilucuti sampai ke intinya, klientalisme adalah bentuk pertukaran dyadic dan personal yang biasanya ditandai dengan perasaan berkewajiban dan sering juga oleh tidak adanya keseimbangan kekuasaan yang setara antara mereka yang terlibat (patron dank lien). Sejatinya, dinamika klientalisme juga dapat ditemukan pada kondisi masyarakat modern sekalipun. Pada dasarnya hubungan ini melibatkan patron yang menyediakan akses atau sarana dasar subsisten atau sumber penghidupan kepada klien dan sebagai imbalannya klien memberikan loyalitasnya kepada patron, jika dalam lingkungan politik tentu implikasi loyalitas berhubungan dengan elektabilitas dan popularitas.
Sumberdaya keuangan atau anggaran daerah memiliki sifat terbatas, sedangkan kebutuhan masyarakat memiliki sifat yang tidak terbatas. Pada akhirnya, sumberdaya tersebut menjadi rebutan berbagai pihak, tentu pihak yang memiliki akses dan kewenangan memiliki keuntungan dalam menguasai sumber daya tersebut. Ketimpangan kondisi antara kebutuhan anggaran untuk pembangunan dengan ketersediaan anggaran, membuat tarik ulur tersebut semakin memicu mudahnya muncul praktik Klientalisme.
Dalam kondisi Negara yang menjunjung demokrasi seharusnya masyarakat memiliki kontrol akan sumberdaya publik seperti anggaran daerah, untuk mendorongnya sebagai instrument untuk menyelesaikan persoalan publik. Hal ini menjadi tantangan penting untuk Indonesia agar mendorong pola-pola hubungan demokratis dalam pengelolaan anggaran dapat semakain mencapai bentuk yang ideal. Secara teoritik, sebagaimana uraian Scott (1972), aktivitas klientelisme akan hadir dan menguat disebabkan oleh beberapa sebab berikut ini:
1. Sumberdaya hanya dikelola dan dikontrol oleh kelompok tertentu di dalam masyarakat. Bentuk sumberdaya tersebut biasanya berbentuk alokasi ekonomi seperti tanah, pekerjaan, keuntungan, hingga ketidakpastian yang dihasilkan melalui manipulasi kekuasaan organisasional.
2. Sang patron secara kuat meminta atau mensyaratkan adanya umpan balik dari klien.
3. Kelompok-kelompok klien secara keseluruhan akan dicegah untuk bisa memperoleh akses terhadap sumberdaya yang dikontrol oleh kelompok patron. Kondisi ini juga berlangsung sebagai akibat dari kegagalan kelompok klien merumuskan kepentingan umum mereka dan kegagalan untuk mengorganisir diri mereka sendiri dalam mencapai kepentingan umum mereka.
4. Ketiadaan sebuah etika publik yang diimplementasikan secara efektif. Yang dimaksud dengan etika publik dalam hal ini adalah sebuah mekanisme yang mengatur bagaimana sumberdaya publik dialokasikan dan dipertukarkan berdasarkan kriteria-kriteria universal dibandingkan kriteria-kriteria personal atau privat.
Pork Barrel atau politik gentong babi merupakan salah satu politik distribusi dengan menyalurkan sumberdaya seperti anggaran dalam bentuk hibah dan lain sebagainya kepada daerah pemilihan atau daerah tertentu oleh elit. Biasanya politik gentong babi lebih menggunakan kebijakan-kebijakan populis yang justru seringkali malah mengabaikan azas manfaat dari suatu kebijakan. Dengan adanya progam populis tersebut, penguasa dapat menanamkan romantisme dan jejaring politik secara efektif dan efisien kepada masyarakat (Djati, 2013). Masyarakat kemudian memiliki persepsi bahwa pihak elit yang memiliki kuasa berhasil mengeluarkan kebijakan populis yang dapat memuaskan pemilih.
Praktik politik gentong babi ini juga menimbulkan personalisasi terhadap barang publik, seolah elit merupakan ratu adil yang benar-benar memperhatikan rakyatnya. Padahal dibalik hal tersebut ada kepentingan politis untuk menjaga loyalitas dan eksistensi elit. Yang diuntungkan atas politik dagang babi tentunya adalah pihak petahanayang memiliki kekuasaan untuk mengelola sumberdaya publik. Terlebih menjelang adanya pemilihan umum, sehingga aktor politik akan berusaha untuk mengarahkan kebijakan yang ada untuk dapat memberikan kepuasan terhadap masyarakat di daerah pemilihan. Akan tetapi tidak menutup kemungkinan pula dalam sebuah kontestasi politik pemilihan kepala daerah pihak challanger atau penantang petahanadibeberapa kondisi mencoba untuk melempar program-program seperti bantuan langsung tunai untuk memancing para pemilih agar menjatuhkan pilihan kepadanya.
Dalam studi ekonomi kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan kepentingan politik dikenal dengan istilah political budget cycle atau political business cycle, yang mana setiap kebijakan berkaitan dengan ekonomi dijalankan bukan karena perhitungan ekonomi secara rasional melainkan dengan perhitungan politik elektoral. Mengumbar janji dengan menebar program akan memberikan bantuan langsung terlebih ketika melakukan blusukan dengan dasar asal populis untuk meningkatkan elektabilitas tanpa ukuran dan target outcome yang jelas tentu justru akan membuat rakyat nantinya akan dirugikan.
Perbedaan antara klientalisme dengan politik gentong babi adalah bahwa dalam klientalisme secara nyata ada proses tukar menukar sumberdaya dengan loyalitas dikarenakan adanya kuasa yang tidak seimbang antara patron dan klien. Sedangkan politik gentong babi hanya berupaya mendistribusikan sumberdaya tanpa upaya transaksi tukar-menukar sumber daya. Walaupun politik gentong babi secara aturan dapat dinyatakan legal, akan tetapi secara moralitas dapat tergolong sebagai hal yang tidak etis. Dikarenakan kebijakan yang terlahir dari pork barrel bukan sepenuhnya hadir dari public interest akan tetapi lebih berupaya dihadirkan untuk kepentingan elektabilitas politik semata. Hal-hal yang seperti ini lah yang kedepannya masyarakat Indonesia harus lebih memahami sehingga demokrasi yang ada dapat benar-benar menemukan kualitas dan bentuk idealnya untuk sepenuhnya secara nyata menyelesaikan persoalan publik.
Referensi:
Djati, Wasisto Raharjo. (2013). “Revitalisasi Kekuatan Familisme dalam Demokrasi: Dinasti Politik di Aras Lokal”. Jurnal Sosiologi Masyarakat. Volume 18, Nomor 2, Juli 2013.
Hanif, Hasrul. (2009). “Politik Klientalisme Baru dan Dilema Demokratisasi di Indonesia”. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Volume 12, Nomor 3, Maret 2009.
Katz, Richard S dan Crotty, William. (2014). Handbook Partai Politik. Bandung: Nusa Media.
Scott, James C. (1972). “Patron-Client Politics and Political Change in Southeast Asia,” American Political Science Review. Vol. 66, no. 1, March 1972.