Pelaksanaan pemilu di Indonesia selama ini belum berlangsung dengan cara-cara yang ramah lingkungan. Meski sejumlah regulasi untuk mengatur pelaksanaan pemilu ramah lingkungan telah ada, namun implementasi dari peraturan-peraturan tersebut masih belum dilakukan optimal. Penyelenggaraan pemilu yang tidak ramah lingkungan sedikit banyak berdampak negatif terhadap kelestarian alam di Indonesia. Sebagai contoh, menurut kalkulasi Ketua Bawaslu Provinsi Sulawesi Utara Herwyn J.H. Malonda, sedikitnya ada 6.675 pohon berusia 5 tahun yang harus ditebang demi memenuhi kebutuhan pembuatan surat suara di Kota Manado ketika pemilu berlangsung. Ribuan pohon itu digunakan untuk membuat 6.675 rim atau setara 3.337.742 lembar kertas HVS kuarto.
“Penggunaan satu rim kertas sama dengan berkurangnya satu pohon berusia lima tahun. Bayangkan, berapa jumlah pohon yang harus berkurang selama masa persiapan dan penyelenggaraan pemilu? Pelaksanaan pemilu selama ini masih dilakukan dengan penggunaan kertas berlebihan. Selain itu penggunaan plastik untuk APK selama masa kampanye juga masih dominan. Hal ini perlu diubah dengan menjadikan konsep green constitution sebagai pijakan utama dalam penyelenggaraan pemilu di Indonesia,” kata Herwyn dalam webinar daring bertema Menggagas Penyelenggaraan Pemilu Ramah Lingkungan yang diselenggarakan Dignity Indonesia, Sabtu (25/9).
Menurut penulis buku Green Constitution; Masa Depan Pemilu Indonesia ini, konsep konstitusi hijau sangat mungkin menjadi pijakan pelaksanaan pemilu. Alasannya, Undang-Undang Dasar 1945 dalam Pasal 28 H ayat (1) telah mengatur perlunya penciptaan lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai hak masyarakat.Konsep green constitution atau kedaulatan ekokrasi diharap mulai dipertimbangkan sebagai pijakan utama penyelenggaraan pemilu ke depannya, demi menjaga terciptanya lingkungan yang berkelanjutan.
“Green constitution sebenarnya konsep yang harus jadi pijakan utama untuk diimplementasikan, sehingga nantinya akan tercipta green election. Konsep green election sekilas beririsan dengan konsep e-election dan e-campaign, implementasinya bisa dilakukan apabila regulasi terkait sudah tersedia. Penerapan green election bisa dilakukan secara asimetris, contohnya, konsep-konsep e-voting, e-counting, dan e-rekap dilakukan di daerah-daerah tertentu sebelum perlahan meluas penerapannya,” tutur Herwyn.
Anggota Komisi II DPR RI Arif Wibowo berkata, pelaksanaan pemilu ramah lingkungan harus didukung. Menurutnya, selama ini kesadaran ramah lingkungan tidak pernah serius dijadikan dasar bagi seluruh pihak untuk mengambil kebijakan. Padahal, Indonesia selama ini telah menyepakati berbagai kesepakatan dan perjanjian skala nasional serta global yang berkaitan dengan kelestarian lingkungan.
Politikus PDI Perjuangan ini menyebut, selama ini asas kelestarian lingkungan belum tercantum dan menjadi dasar penyusunan UU Pemilu serta Pilkada. Hal ini menjadi salah satu sebab pelaksanaan pemilu di Indonesia kurang ramah lingkungan.
“Dalam UU terkait pemilu dan pilkada sama sekali belum mencantumkan asas penting tentang ramah lingkungan, padahal ini sudah diatur dalam UUD 1945. Itulah sebabnya dalam peraturan lebih lanjut secara teknis, sudah pasti soal tersebut tentu terabaikan meski sebenarnya ada ruang dan celah yang tetap memungkinkan untuk KPU dan Bawaslu membuat aturan ramah lingkungan,” kata Arif.
Dia berkata, pelaksanaan pemilu ramah lingkungan baru bisa terealisasi apabila ada koordinasi dan dukungan kuat dari pemerintah, DPR, dan masyarakat sipil. Tanpa koordinasi yang kuat, fase persiapan pelaksanaan pemilu ramah lingkungan tak akan berjalan. Alhasil, kondisi ini membuat gagasan pemilu ramah lingkungan tak akan bisa direalisasikan.
“Saya sepakat agar pemilu dilakukan dengan ramah lingkungan. Karena itu, perspektif penyelenggara harus memandang pemilu tidak sekedar proses administratif dan elektoral. Saya mendorong betul agar penyelenggara bersama-sama mengutamakan kebijakan (pemilu) yang ramah lingkungan. Ke depan, saya akan menyampaikan agar hal ini (konsep pemilu ramah lingkungan) mendapat ruang cukup dalam penyusunan norma hukum baik dalam PKPU atau aturan-aturan pemilu lain,” tuturnya.
Menurut Peneliti Kajian Lingkungan Alumnus Lund University Banne Rumengan, pemilu ramah lingkungan bisa membawa manfaat besar bagi perekonomian dan kondisi sosial serta politik di suatu negara. Karena itu, ide ini harus didukung pelaksanaannya. Konsistensi harus menjadi kunci untuk menciptakan pemilu ramah lingkungan, karena konsep ini tak bisa diwujudkan dalam waktu singkat.
Banne berkata, ada 4 aspek yang harus diperhatikan demi menciptakan pemilu ramah lingkungan. Keempat aspek ini adalah material, transportasi, konsumsi energi, dan potensi sampah. Pengelolaan keempat aspek tersebut akan berdampak pada dimungkinkan/tidaknya pemilu ramah lingkungan diselenggarakan.
“Sebagai contoh, ketika pengadaan barang para pemangku kepentingan dapat menerapkan proses yang—tidak hanya memerhatikan aspek sosial dan ekonomi—tapi juga lingkungan (green procurement). Kemudian untuk transportasi, bisa dilakukan dengan cara mulai kurangi pemakaian moda yang boros karbon. Konsumsi energi bisa diubah dengan mulai biasakan gunakan listrik dari sumber energi bersih, atau menggunakan barang-barang hemat energi. Pada aspek sampah, yang bisa dilakukan adalah adopsi pengelolaan sampah berkelanjutan,” kata Banne.
Head of Knowledge Management Enviro Strategic Bedhah Adhityo berkata, penciptaan pemilu ramah lingkungan harus dimulai dengan terlebih dulu membangun narasi bersama bahwa isu lingkungan hidup adalah hal penting, dan menjadi prinsip hidup berbangsa dan bernegara. Dia menyebut selama ini isu pemilu dan lingkungan masih belum dianggap penting oleh mayoritas orang. Karena itu, pembudayaan terkait persoalan ini harus dibangun demi mewujudkan pemilu ramah lingkungan.
“Untuk melakukan pemilu ramah lingkungan sebenarnya sudah ada benchmark dan komparasinya dari sektor-sektor lain. Misalnya di sektor industri, ada penghargaan khusus untuk pengusaha yang menjalankan bisnis dengan ramah lingkungan. Ada juga program Adipura dan Adiwiyata di sektor pemerintahan dan pendidikan. Kita juga perlu mulai memberi insentif dan penghargaan kepada pihak-pihak yang berkomitmen mengurangi dampak negatif pemilu pada lingkungan. Penghargaan ini bisa membentuk atau menjadi citra baru dalam dunia politik di Indonesia,” kata Bedhah.